BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Upaya untuk memperbaiki
kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak telah menjadi prioritas utama dari
pemerintah, bahkan sebelum Millenium Development Goal’s 2015 ditetapkan. Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator
utama derajat kesehatan suatu Negara. AKI dan AKB juga mengindikasikan
kemampuan dan kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan,
kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan,
sosial budaya serta hambatan dalam memperoleh akses terhadap pelayanan
kesehatan. (Depkes, 2013)
Angka Kematian Ibu
(AKI) merupakan indikator utama derajat kesehatan masyarakat dan ditetapkan
sebagai salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs). AKI Indonesia
diperkirakan tidak akan dapat mencapai target MDG yang ditetapkan yaitu 102 per
100 000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Kematian ibu akibat kehamilan,
persalinan dan nifas sebenarnya sudah banyak dikupas dan dibahas penyebab serta
langkah‐langkah untuk
mengatasinya. Meski demikian tampaknya berbagai upaya yang sudah dilakukan
pemerintah masih belum mampu mempercepat penurunan AKI seperti diharapkan. Pada
Oktober yang lalu kita dikejutkan dengan hasil perhitungan AKI menurut SDKI
2012 yang menunjukkan peningkatan (dari 228 per 100 000 kelahiran hidup menjadi
359 per 100 000 kelahiran hidup). Angka Kematian Ibu (AKI) di Malaysia (62 per
100.000 kelahiran hidup), Srilanka (58 per 100.000 kelahiran hidup), Philipina
(230 per 100.000 kelahiran hidup). Diskusi sudah banyak dilakukan dalam rangka
membahas mengenai sulitnya menghitung AKI dan sulitnya menginterpretasi data
AKI yang berbeda‐beda
dan fluktuasinya kadang drastis. (Depkes, 2013)
Sedangkan untuk data
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia meskipun masih jauh dari angka target
MDGs yaitu AKB tahun 2015 sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup tetapi tercatat
mengalami penurunan yaitu dari sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002)
menjadi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007) dan terakhir menjadi 32
per kelahiran hidup (SDKI 2012). Namun Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia
masih tetap tergolong tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN
seperti Singapura (3 per 1000 kh), Brunei Darussalam (8 per 1000 kh), Malaysia
(10 per 1000 kh), Vietnam (18 per 1000 kh), dan Thailand (20 per 1000 kh),.
Target AKB dalam MDGs adalah 23 per 1000 kelahiran hidup. (Depkes, 2013)
Dari data di atas
terlihat bahwa AKI dan AKB di Indonesia masih sangat tinggi, terutama untuk AKI
yang berdasarkan trend data SDKI beberapa tahun ini mengalami fluktuasi yang
angkanya semakin jauh dari MDGs. Dalam rangka menurunkan AKI dan AKB memerluka
kerjasama lintas sektor dan lintas program.
Berdasarkan uraian di
atas, dalam rangka ikut berperan serta untuk menurunkan Angka Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), kami tertarik untuk membuat makalah mata
kuliah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Dan Neonatal dengan judul
“Memahami Kondisi Maternal Dan Neonatal Yang Beresiko Kegawatdaruratan”.
1.2 Perumusan
Masalah
1. Menurunkan
Angka Kematian Ibu (AKI) dengan memahami kondisi maternal dan neonatal yang
beresiko kegawatdaruratan.
2. Menurunkan
Angka Kematian Bayi (AKB) dengan memahami kondisi maternal dan neonatal yang
beresiko kegawatdaruratan.
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui pengertian, penilaian klinik,
tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan
preeklampsia.
2.
Mengetahui pengertian, penilaian klinik,
tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan eklampsia.
3.
Mengetahui pengertian, penilaian klinik,
tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan
hipertensi dalam kehamilan.
4.
Mengetahui pengertian, penilaian klinik,
tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan hipertensi
kronik.
5.
Mengetahui pengertian, penilaian klinik,
tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan kejang.
1.4 Manfaat
Penelitian
Manfaat makalah ini
bagi mahasiswa:
1. Meningkatkan
pengetahuan dan teori serta praktek.
2. Mahasiswi
lebih kompeten dalam memberi asuhan kebidanan kegawatdaruratan maternal dan
neonatal.
3. Memahami
kondisi maternal neonatal yang beresiko kegawatdaruratan.
Manfaat
makalah ini bagi umum:
1. Mengurangi
angka kematian maternal dan neonatal.
2. Meningkatkan
kesadaran diri terhadap ibu agar memeriksakan dirinya secara rutin pada waktu
kehamilan agar mengetahui komplikasi pada ibu dan janin.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1 Preeklampsia
2.1.1
Pengertian Preeklampsia
Penyakit
dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria, dan edema yang timbul karena
kehamilan, umumnya terjadi pada kehamilan trimester III, tetapi dapat terjadi
sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa. (Prawirohardjo, 2005)
Preeklampsia
adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa
nifas yang terdiri dari trias yaitu hipertensi, proteinuria dan edema yang
kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma, ibu tersebut tidak menunjukan
tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi sebelumnya. (Muchtar, 1998)
Preeklampsia
adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan
setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. (Mansjoer,
2001)
Pada
umumnya ibu hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu disertai dengan
peningkatan tekanan darah di atas normal sering diasosiasikan dengan
preeclampsia. Data atau informasi awal terkait dengan tekanan darah sebelum
hamil akan sangat membantu petugas kesehatan untuk membedakan hipertensi kronis
(yang sudah ada sebelumnya) dengan preeklampsia. (Saifuddin, 2010)
2.1.2
Penilaian Klinik Preeklampsia
Diagnosis
preeklampsia ditegakan berdasarkan adanya 2 dari 4 gejala, yaitu:
1.
Penambahan berat badan yang berlebihan :
bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali.
2.
Edema : terlihat sebagai peningkatan
berat badan, pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka.
3.
Hipertensi : tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
atau tekanan sistolik meningkat > 30 mmHg atau tekanan diastolik > 15
mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit.
4.
Proteinuria : bila terdapat protein
sebanyak 0,3 g/l dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif
menunjukan + 1 atau + 2, atau kadar protein ≥ 1 g/l dalam urin yang dikeluarkan
dengan kateter atau urin porsi tengah, diambil minimal 2 kali dengan jarak
waktu 6 jam.
(Mansjoer, 2001)
Preeklampsia
merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan
postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi
preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Pembagian
preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya dua penyakit yang
jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklampsia ringan
dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma.
Gambaran
klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat individual. Kadang-kadang sukar
untuk menentukan gejala preeklampsia mana yang timbul lebih dahulu.
Secara
teoritik urutan-urutan gejala yang timbul pada preeklampsia adalah edema,
hipertensi dan terakhir proteinuri, sehingga gejala-gejala ini timbul tidak
dalam urutan di atas, dapat dianggap bukan preeklampsia.
Dari
semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuri merupakan gejala
yang paling penting. Namun sayangnya penderita seringkali tidak merasakan
perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri kepala,
gangguan penglihatan, atau neri epigastrum, maka penyakit ini sudah cukup
lanjut. (Saifuddin, 2010)
2.1.3
Tanda Gejala Preeklampsia
1.
Gejala preeklampsia ringan meliputi:
a.
Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg
atau lebih; diastolik 15 mmHg atau lebih dari tekanan darah sebelum hamil pada
kehamilan 20 minggu atau lebih, atau sistol 140 mmHg sampai kurang 160 mmHg;
diastolik 90 mmHg sampai kurang 110 mmHg.
b.
Proteinuria : secara kualitatif lebih
0,3 gr/liter dalam 24 jam atau secara kualitatif + 2.
c.
Edema pada pretibia, dinding abdomen,
lumbosakral, wajah atau tangan.
2.
Gejala preeklampsia berat meliputi:
a.
Proteinuria ≥ 2+
b.
Oliguria < 400 ml per 24 jam
c.
Edema paru: nafas pendek, sianosis,
ronkhi +
d.
Nyeri daerah epigastrum atau kuadran
kanan
e.
Gangguan penglihatan (penglihatan
berkabut)
f.
Nyeri kepala hebat, tidak hilang dengan
analgetik biasa
g.
Hiperrefleksia
h.
Mata: spasme arteriolar, edema, ablasio
retina
i.
Koagulasi: koagulasi intravaskuler
desseminata, sindrom HELLP
j.
Pertumbuhan janin terhambat
k.
Otak: edema serebri
l.
Jantung: gagal jantung
(Rukiyah, 2010)
Tanda
gejala dari preeklampsia adalah sebagai berikut:
1.
Hiperrefleksia (iritabilitas susunan
saraf pusat).
2.
Sakit kepala atau sefalgia (frontal atau
oksipital) yang tidak baik dengan pengobatan umum.
3.
Gangguan penglihatan seperti pandangan
kabur, skotomata, silau atau berkunang-kunang.
4.
Nyeri epigastrik.
5.
Oliguria (luaran kurang dari 500 ml/24
jam).
6.
Tekanan darah sistolik 20-30 mmHg dan
diastolic 10-20 mmHg di atas normal.
7.
Proteinuria.
8.
Edema menyeluruh.
(Saifuddin, 2010)
2.1.4
Klasifikasi Preeklampsia
1.
Preeklampsia ringan
Preeklampsia
ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/ atau edema setelah
umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. (Rukiyah, 2010)
2.
Preeklampsia berat
Preeklampsia
berat adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi
160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/ atau edema pada kehamilan 20
atau lebih. (Rukiyah, 2010)
2.1.5
Diagnosa Banding Preeklampsia
1.
Kejang bisa disebabkan ensefalopati
hipertensi, epilepsi, tromboemboli, intoksikasi obat, trauma, hipoglikemia,
hipokalsemia, atau alkalosis.
2.
Koma bisa disebabkan epilepsi, sinkop,
intoksikasi alkohol atau obat, asidosis, hipoglikemia, atau azotemia.
(Mansjoer, 2001)
Diagnosis
preeklampsia ringan ditegakan berdasarkan timbulnya hipertensi disertai
proteinuri dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu.
1.
Hipertensi: sistolik/diastolik ≥ 140/90
mmHg. Kenaikan sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak
dipakai lagi sebagai kiteria preeklampsia.
2.
Proteinuria: ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1 +
dipstik.
3.
Edema: edema lokal tidak dimasukan dalam
kriteria preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka, perut , edema
generalisata.
Diagnosis ditegakan berdasarkan
kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum di bawah ini. Preeklampsia
digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai
berikut:
1.
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun
ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
2.
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 +
dalam pemeriksaan kualitatif.
3.
Oliguria, yaitu produksi urin kurang
dari 500 cc/24 jam.
4.
Kenaikan kadar kretinin plasma.
5.
Gangguan visus dan serebral: penurunan
kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.
6.
Nyeri epigastrum atau nyeri pada kuadran
kanan atas abdomen (akibat terenggangnya kapsula Glisson).
7.
Edema paru-paru dan sianosis.
8.
Hemolisis mikroangiopatik.
9.
Trombositopenia berat: < 100.000
sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
10.
Gangguan fungsi hepar (kerusakan
hepatoseluler): peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.
11.
Pertumbuhan janin intrauterine yang
terhambat.
12.
Sindrom HELLP.
(Saifuddin, 2010)
2.1.6
Komplikasi Preeklampsia
Komplikasi
pada ibu:
1.
Sistem saraf pusat
Perdarahan
intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri,
edema retina, macular atau retina detachment dan kebutaan korteks.
2.
Gastrointestinal-hepatik: subskapular
hematoma hepar, rupture kapsul hepar.
3.
Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis
tubular akut.
4.
Hematologik: DIC, trombositopenia dan
hematoma luka operasi.
5.
Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik
atau nonkardiogenik, depresi atau arrest, pernapasan, kardiak arrest, iskemia
miokardium.
6.
Lain-lain: asites, edema laring,
hipertensi yang tidak terkendalikan
Komplikasi pada janin:
Penyulit yang dapat terjadi pada
janin adalah intrauterine fetal growth restriction, solusio plasenta,
prematuritas, sindroma distress napas, kematian janin intrauterine, kematian
neonatal perdarahan intraventrikular, necrotizing enterolitis, sepsis, cerebral
palsy.
(Saifuddin, 2010)
2.1.7
Pencegahan Preeklampsia
Belum
ada kesepakatan dalam strategi pencegahan preeklampsia. Beberapa penelitian
menunjukan pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diet tinggi protein, suplemen
kalsium, magnesium, dll) atau medikamentosa (teofilin, antihipertensi,
diuretik, aspirin, dll) dapat mengurangi kemungkinan timbulnya preeklampsia.
(Mansjoer, 2001)
Yang
dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada
wanita hamil yang mempunyai resiko terjadinya preeklampsia. Preeklampsia adalah
suatu sindroma dari proses implantasi sehingga secara keseluruhan dapat
dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan nonmedikal dan medikal:
1.
Pencegahan dengan nonmedikal
Pencegahan
nonmedikal adalah pencegahan dengan tidak memberikan obat. Cara yang paling
sederhana adalah melakukan tirah baring. Di Indonesia tirah baring masih
diperlukan pada mereka yang mempunyai resiko tinggi terjadinya preeklampsia
meskipun tirah baring tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan
mencegah persalinan preterm. Restriksi garam tidak terbukti dapat mencegah
terjadinya preeklampsia. Hendaknya diet ditambah suplemen yang mengandung:
a.
Minyak ikan yang kaya akan asam lemak
tidak jenuh, misalnya omega-3 PUFA
b.
Antioksidan: vitamin C, vitamin E,
β-karoten, CoQ10,
N-Asetilsistein, asam lipoik.
c.
Elemen logam berat: zinc, magnesium,
kalsium.
2.
Pencegahan dengan medikal
Pencegahan
dapat pula dilakukan dengan pemberian obat meskipun belum ada buktiyang kuat
dan sahih. Pemberian diuretik tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia
bahkan memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak terbukti mencegah
terjadinya preeklampsia.
Pemberian
kalsium: 1.500-2.000 mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen pada resiko tinggi
terjadinya preeklampsia. Selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari,
magnesium 365/hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat mencegah
preeclampsia adalah aspirin dosis rendah rata-rata di bawah 100 mg/hari, atau
dipiridamole. Dapat juga diberikan obat-obat antioksidan, misalnya vitamin C,
vitamin E, β-karoten, CoQ10,
N-Asetilsistein, asam lipoik.
2.2
Eklampsia
2.2.1 Pengertian Eklampsia
Eklampsia
adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelainan neurologik) dan/
atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukan gejala-gejala preeklampsia.
(Erlina, 2008)
Eklampsia
adalah kelainan pada masa kehamilan, dalam persalinan, atau masa nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelainan saraf) dan/ atau
dimana sebelumnya sudah menunjukan gejala-gejala preeklampsia. (Ong Tjandra
& John, 2008)
Eklampsia
adalah penyakit akut dengan kejang dan koma pada wanita hamil dan wanita dalam
masa nifas disertai dengan hipertensi, odema, dan proteinuria. (Sulaeman, 1984)
Eklampsia
berasal dari bahasa Yunani yang berarti “halilintar”. Kata tersebut dipakai
karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului oleh tanda-tanda lain. (Hanifa dalam Prawirohardjo, 2005)
Eklampsia
adalah preeklampsia yang disertai kejang dan/ atau koma yang timbul bukan
akibat kelainan neurologi. (Mansjoer, 2001)
2.2.2
Penilaian Klinik Eklampsia
Eklampsia
merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai dengan kejang
menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul
pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.
Pada
penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau
tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya
kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut
sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia. (Sarwono, 2010)
2.2.3
Tanda Gejala Eklampsia
Gejala eklampsia
meliputi :
1.
Tanda-tanda preeklampsia berat
2.
Kejang-kejang dan/ atau koma
Kejang
dapat terjadi tidak tergantung dari beratnya hipertensi, bersifat tonik-klonik
(menyerupai kejang pada epilepsi), koma terjadi setelah kejang, dapat
berlangsung lama (berjam-jam)
3.
Kadang-kadang disertai gangguan fungsi
organ.
2.2.4
Klasifikasi Eklampsia
Berdasarkan
waktu terjadinya, eklampsia dapat dibagi menjadi:
1.
Eklampsia gravidarum
a.
Kejadian 50% - 60 %
b.
Serangan terjadi dalam keadaan hamil
2.
Eklampsia parturientum
a.
Kejadian sekitar 30 % - 35 %
b.
Batas dengan eklampsia gravidarum sukar
ditentukan terutama saat mulai inpartu
3.
Eklampsia puerpurium
a.
Kejadian jarang yaitu 10 %
b.
Terjadi serangan kejang atau koma
setelah persalinan berakhir
2.2.5
Diagnosa Banding Eklampsia
Kejang
pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit lain. Oleh
karena itu, diagnosis banding eklampsia menjadi sangat penting, misalnya
perdarahan otak, hipertensi, lesi otak, kelainan metabolik, meningitis,
epilepsi iatrogenic. Eklampsia selalu didahului oleh preeklampsia. Perawatan
prenatal untuk kehamilan dengan predisposisi preeklampsia perlu ketat dilakukan
agar dapat dikenal sedini mungkin gejala-gejala prodoma eklampsia. Sering
dijumpai perempuan hamil yang tampak sehat mendadak menjadi kejang-kejang
eklampsia, karen tidak terdeteksi adanya preeklampsia sebelumnya.
Kejang-kejang
dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang tonik ialah dengan dimulainya
gerakan kejang berupa twitching dari otot-otot muka khususnya sekitar mulut,
yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi otot-otot tubuh yang menegang,
sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita mengalami
distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan menggenggam, kedua
tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh pada saat ini dalam keadaan kontraksi
tonik. Keadaan ini berlangsung 15-30 detik.
Kejang
tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik ini dimulainya
dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat
disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul
dengan kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh.
Begitu kuat kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga seringkali penderita
terlempar dari tempat tidur. Seringkali pula lidah tergigit akibat kontraksi otot
rahang yang terbuka dan tertutup degan kuat. Dari mulut keluar liur berbusa
yang kadang-kadang disertai bercak-bercak darah. Wajah tampak membengkak karena
kongesti dan pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan.
Lama
kejang klonik ini kurang lebih kemudian berangsur-angsur kontraksi melemah dan
akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam koma. Pada waktu timbul
kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat. Demikian juga suhu badan
meningkat, yang munkin oleh karena gangguan serebral. Penderita mengalami
inkontinensia disertai dengan oliguria atau anuria dan kadang-kadang terjadi
aspirasi bahan muntah. (Sarwono, 2010)
2.2.6
Komplikasi Eklampsia
1.
Iskemia uteroplasenta
Pertumbuhan
janin terhambat, kematian janin, persalinan premature, solusio plasenta.
2.
Spasme arteriolar
Perdarahan
serebral, gagal jantung ginjal dan hati, ablasio retina, tromboembolisme,
gangguan pembekuan darah.
3.
Kejang dan koma
Trauma
karena kejang, aspirasi cairan, darah, muntahan, dengan akibat gangguan
pernapasan.
4.
Penanganan tidak tepat
Pneumonia,
infeksi saluran kemih, kelebihan cairan, komplikasi anestesi atau tindakan
obstetrik.
2.2.7
Pencegahan Eklampsia
Pada
umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:
1.
Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan
antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksa diri sejak hamil
muda
2.
Mencari pada tiap pemeriksaan
tanda-tanda preeklampsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan
3.
Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya
pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila dirawat tanda-tanda preeclampsia tidak
juga dapat hilang
(Hanifa dalam Prawirohardjo, 2005)
Penanganan eklampsia
pada kehamilan:
1.
Jika tekanan diastolik > 110 mmHg,
berikan antihiperti, sampai tekanan diastolik diantara 90-100 mmHg.
2.
Pasang infuse Ringer Laktat dengan jarum
besar (16 gauge atau >)
3.
Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai
terjadi overload
4.
Kateterisasi urin untuk pengeluaran
volume dan proteinuria
5.
Jika jumlah urin < 30 ml per jam:
a.
Infuse cairan dipertahankan 1 liter/ 8
jam
b.
Pantau kemungkinan edema paru
6.
Jangan tinggalkan pasien sendirian.
Kejang serta aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
7.
Observasi tanda-tanda vita, refleks,
denyut jantung janin setiap jam.
8.
Auskultasi paru untuk mencari
tanda-tanda edema paru
Krepitasi
merupakan tanda edema paru. Jika ada edema paru, stop pemberian cairan, dan
berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg IV.
Nilai
pembekuan darah dengan uji pembekuan bedsise. Jika pembekuan tidak terjadi
sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
Penanganan
eklampsia pada kehamilan persalinan:
1.
Pada eklampsia persalinan harus terjadi
dalam 12 jam sejak gejala eklampsia timbul.
2.
Jika terdapat gawat janin, atau
persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio
sesarea.
3.
Jika seksio sesarea akan dilakukan, maka
perhatikan bahwa:
a.
Tidak terdapat koagulopati
b.
Anestesia yang aman/ terpilih adalah
anestesi umum. Jangan lakukan anestesi lokal, sedang anestesi spinal berhubungan
dengan resiko hipotensi.
4.
Jika anesthesia yang umum tidak
tersedia, atau janin mati, aterm terlalu kecil, lakukan persalinan pervaginam.
a.
Jika serviks matang, lakukan induksi
dengan oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml dekstrose 10 tetes/ menit atau dengan
prostaglandin.
Penanganan eklampsia pada
postpartum :
1.
Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam
postpartum atau kejang terakhir.
2.
Teruskan terapi antihipertensi jika
tekanan diastolik masih > 110 mmHg.
3.
Pantau urin.
(Saifuddin, 2009)
2.3 Hipertensi Karena Kehamilan
2.3.1
Pengertian Hipertensi Karena Kehamilan
Tekanan
darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg yang disebabkan karena kehamilan itu
sendiri, memiliki potensi yang menyebabkan gangguan serius pada kehamilan.
(Rukiyah, 2010)
2.3.2
Penilaian Klinik Hipertensi Karena
Kehamilan
Penilaian klinik
untuk hipertensi karena kehamilan antara lain:
1.
Tekanan darah diastolik < 100 mmHg
2.
Proteinuria sampai + 1
3.
Peningkatan enzim hati minimal
Gejala
yang biasanya muncul pada ibu yang mengalami hipertensi yang pada kehamilan
yang harus diwaspadai jikan ibu mengeluh : nyeri kepala saat terjaga,
kadang-kadang disertai mual, muntah akibat peningkatan tekanan intrakranium,
penglihatan kabur, ayunan langkah yang tidak mantap, nokturia, idema dependen
dan pembengkakan. (Rukiyah, 2010)
2.3.3
Tanda Gejala Hipertensi Karena Kehamilan
1.
Tekanan sistolik di atas 200 mmHg
2.
Terjadi pembesaran jantung
3.
Bukan kehamilan pertama
4.
Riwayat kehamilan yang sulit tidak ada
proteinuria
5.
Tidak terjadi pembengkakan
6.
Terdapat perdarahan retina
2.3.4
Klasifikasi Hipertensi Karena Kehamilan
Kehamilan
yang menyebabkan hipertensi atau hipertensi yang timbul sebagian akibat
kehamilan dan akan menghilang pada masa nifas seperti : hipertensi pada
proteinuria atau edema, preeklampsia dengan atau tanpa proteinuria dan odema,
yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat, eklampsia, hipertensi kronis,
kehamilan yang memperburuk hipertensi, hipertensi sementara (transient
hypertension). (Rukiyah, 2010)
2.3.5
Diagnosa Banding Hipertensi Karena
Kehamilan
1.
Hipertensi kronik kehamilan
Timbul
sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis
setelah usia kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu
pascapersalinan.
2.
Kehamilan dengan sindrom nefrotik
Biasanya
berupa oliguria dengan urin berwarna gelap atau urin yang kental akibat
proteinuria berat, edema pada kaki dan genitalia.
3.
Kehamilan dengan payah jantung
(dekompensasi kordis)
Ketidakmampuan
jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan
akan oksigen dan nutrisi.
2.3.6
Komplikasi Hipertensi Karena Kehamilan
1. Jika
pertumbuhan janin terhambat, lakukan terminasi kehamilan
2. Jika
terjadi penurunan kesadaran atau koma, kemungkinan terjadi perdarahan serebral:
a. Turunkan
tekanan daraah pelan-pelan
b. Berikan
terapi suportif
3. Jika
terjadi gagal jantung, ginjal, atau hati, berikan terapi suportif
4. Jika
uji beku darah menunjukan gangguan tekanan darah, kemungkinan terdapat
koagulopati
5. Jika
pasien mendapat infuse dan dipasang kateter, perhatikan upaya pencegahan
infeksi
6. Jika
pasien mendapat cairan per infus, perlu dipantau jumlah cairan masuk dan keluar agar tidak
terjadi overload cairan.
2.3.7
Pencegahan Hipertensi Karena Kehamilan
Pencegahan
kejadian hipertensi secara umum agar menghindari tekanan darah tinggi adalah
dengan mengubah ke arah gaya hidup sehat, tidak terlalu banyak pikiran,
mengatur diet atau pola makan seperti rendah garam, rendah kolesterol dan lemak
jenuh, meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, tidak mengkonsumsi alkohol dan
rokok, perbanyak makan mentimun, belimbing dan juga jus apel dan seledri setiap
pagi bagi yang mempunyai keluarga riwayat penyumbatan arteri dapat meminum jus
yang dicampur dengan susu nonfat dengan mengandung omega 3 tinggi. (Rukiyah,
2010)
Tangani
secara rawat jalan:
1.
Pantau tekanan darah, urin (untuk
proteinuria) dan kondisi janin setiap minggu
2.
Jika tekanan darah meningkat, tangani
sebagai preeklampsia ringan
3.
Jika kondisi janin memburuk atau terjadi
pertumbuhan janin terhambat, rawat untuk penilaian kesehatan janin
4.
Beri tahu pasien dan keluarga tanda
bahaya dan gejala preeklampsia dan eklampsia.
5.
Jika tekanan darah stabil, janin dapat
dilahirkan secara normal
(Saifuddin, 2002)
2.4
Hipertensi
Kronik
2.4.1
Pengertian Hipertensi Kronik
Hipertensi
yang timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali
didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12
minggu pascapersalinan. (Saifuddin, 2010)
2.4.2
Penilaian Klinik Hipertensi Kronik
Peninggian
tekanan darah kadang- kadang merupakan satu-satunya gejala, bila demikian
gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau
jantung dan gejala lain di temukan seperti sakit kepala marah dan telinga
mendengung.
2.4.3
Tanda Gejala Hipertensi Kronik
1.
Ensefalopati hipertensif
2.
Hemiplegi
3.
Gangguan penglihatan dan pendengaran
4.
Parases dan facialis
5.
Penurunan kesadaran
Gejala-
gejala yang berkaitan dengan hipertensi kronik adalah perubahan aktifitas,
kebiasaan merokok, riwayat obat- obatan bebas, sukar tidur, mata berkunang-kunang
dan pusing.
2.4.4
Klasifikasi Hipertensi Kronik
Menurut
WHO/ ISH:
Klasifikasi
|
Sistolik(mmhg)
|
Diastolik(mmhg)
|
Normotensi
|
<140
|
<90
|
Hipertensi
ringan
|
140
- 180
|
90-105
|
Hipertensi
perbatasaan
|
140-160
|
90-95
|
Hipertensi
sedang dan berat
|
>180
|
>105
|
Hipertensi
sistolik terisolasi
|
>140
|
<90
|
Hipertensi
sistolik perbatasan
|
140-
160
|
<90
|
2.4.5
Diagnosa Banding Hipertensi Kronik
Diagnosa
hipertensi tidak bisa ditegakan dalam satu kali pertukaran hanya dapat diterapkan
setelah kedua kalinya atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda,
kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala- gejala klinik. Pengukuran
tekanan darah dilakukan dalam keadaan posisi duduk bersandar setelah
beristirahat selama 5 menit dengan ukuran pembukus lengan yang sesuai.
2.4.6
Komplikasi Hipertensi Kronik
Pada
wanita hamil yang mengalami hipertensi kronik terjadi peningkatan angka
kejadian stroke. Selain itu komplikasi lain yang sangat mengkhawatirkan yaitu
terjadi superimposed preeclampsia dimana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
disfungsi hepar, gagal ginjal, serta tendensi timbulnya perdarahan yang
meningkat dan perburukan ke arah eklampsia.
Pada
janin sendiri dapat terjadi bermacam-macam gangguan sampai kematian janin
dimana efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita hamil akan
merusak sistem vaskularisasi darah, sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan
nutrisi melalui plasenta dari ibu ke janin. Hal ini bisa menyebabkan
prematuritas plasenta dengan akibat pertumbuhan janin yang lambat dalam rahim,
bahkan kematian janin.
2.4.7
Pencegahan Hipertensi Kronik
Pencegahan
dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis
rendah kemudian ditingkatkan sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia. Terapi
yang optimal harus efektif selama 24 jam dan disukai dalam dosis tunggal karena
kepatuhan lebih baik, dapat mengkontrol hipertensi terus-menerus dan lancar dan
melindungi pasien dalam berbagai resiko dan kematian mendadak serangan jantung,
atau syok akibat peningkatan tekanan darah.
Penanganan
umum:
1.
Istirahat cukup
2.
Mengatur diet yaitu meningkatkan
konsumsi makanan yang mengandung protein dan mengurangi makanan yang mengandung
karbohidrat serta lemak
3.
Jika keadaan memburuk namun kemungkinan
dokter akan mempertimbangkan untuk segera melahirkan bayi demi keselamatan ibu
dan bayi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Preeklampsia
adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria akibat kehamilan setelah umur
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah kelainan
akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang atau koma. Hipertensi karena kehamilan adalah tekanan darah
yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg yang disebabkan karena kehamilan itu
sendiri, memiliki potensi yang menyebabkan gangguan serius pada kehamilan.
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
3.2
Saran
1.
Untuk klien diharapkan untuk melakukan
pemeriksaan Antenatal Care hingga pemeriksaan Postpartum yang teratur sehingga
resiko preeklampsia, eklampsia, hipertensi karena kehamilan, dan hipertensi
kronik dapat ditangani sedini mungkin.
2.
Untuk bidan:
a.
Sebagai tenaga kesehatan, bidan harus
memberikan penyuluhan kepada masyarakat khususnya kelompok wanita usia subur
dan memberikan pengertian tentang resiko yang akan timbul serta komplikasi
preeklampsia, eklampsia, hipertensi karena kehamilan, dan hipertensi kronik
pada ibu hamil, melahirkan, dan setelah melahirkan.
b.
Agar dapat menegakan diagnosa secara
dini tentang penyakit preeklampsia, eklampsia, hipertensi karena kehamilan, dan
hipertensi kronik pada ibu hamil, melahirkan, dan setelah melahirkan dan
memberikan penanganan yang sesuai sehingga tidak terjadi komplikasi yang serius
terhadap ibu dan janin.
3.
Untuk institusi dapat meningkatkan
metode pembelajaran sehingga alumni lebih kompeten dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat untuk membantu menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka
kematian bayi (AKB) berkenaan dengan masalah preeklampsia, eklampsia,
hipertensi karena kehamilan, dan hipertensi kronik.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer,
Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Prawirohardjo,
Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin,
Abdul Bari, dkk. 2009. Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin,
Abdul Bari, dkk. 2010. Buku Panduan
Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Rukiyah,
Ai Yeyeh, dkk. 2014. Asuhan Kebidanan 4
Patologi Kebidanan. Jakarta: TIM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar