Senin, 05 Mei 2014

Preklampsia, Eklampsia, Hipertensi Karena Kehamilan, Dan Hipertensi Kronik



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Upaya untuk memperbaiki kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak telah menjadi prioritas utama dari pemerintah, bahkan sebelum Millenium Development Goal’s 2015 ditetapkan. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator utama derajat kesehatan suatu Negara. AKI dan AKB juga mengindikasikan kemampuan dan kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan, sosial budaya serta hambatan dalam memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan. (Depkes, 2013)

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator utama derajat kesehatan masyarakat dan ditetapkan sebagai salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs). AKI Indonesia diperkirakan tidak akan dapat mencapai target MDG yang ditetapkan yaitu 102 per 100 000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Kematian ibu akibat kehamilan, persalinan dan nifas sebenarnya sudah banyak dikupas dan dibahas penyebab serta langkahlangkah untuk mengatasinya. Meski demikian tampaknya berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah masih belum mampu mempercepat penurunan AKI seperti diharapkan. Pada Oktober yang lalu kita dikejutkan dengan hasil perhitungan AKI menurut SDKI 2012 yang menunjukkan peningkatan (dari 228 per 100 000 kelahiran hidup menjadi 359 per 100 000 kelahiran hidup). Angka Kematian Ibu (AKI) di Malaysia (62 per 100.000 kelahiran hidup), Srilanka (58 per 100.000 kelahiran hidup), Philipina (230 per 100.000 kelahiran hidup). Diskusi sudah banyak dilakukan dalam rangka membahas mengenai sulitnya menghitung AKI dan sulitnya menginterpretasi data AKI yang berbedabeda dan fluktuasinya kadang drastis. (Depkes, 2013)
Sedangkan untuk data Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia meskipun masih jauh dari angka target MDGs yaitu AKB tahun 2015 sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup tetapi tercatat mengalami penurunan yaitu dari sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002) menjadi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007) dan terakhir menjadi 32 per kelahiran hidup (SDKI 2012). Namun Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tetap tergolong tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN seperti Singapura (3 per 1000 kh), Brunei Darussalam (8 per 1000 kh), Malaysia (10 per 1000 kh), Vietnam (18 per 1000 kh), dan Thailand (20 per 1000 kh),. Target AKB dalam MDGs adalah 23 per 1000 kelahiran hidup. (Depkes, 2013)
Dari data di atas terlihat bahwa AKI dan AKB di Indonesia masih sangat tinggi, terutama untuk AKI yang berdasarkan trend data SDKI beberapa tahun ini mengalami fluktuasi yang angkanya semakin jauh dari MDGs. Dalam rangka menurunkan AKI dan AKB memerluka kerjasama lintas sektor dan lintas program.
Berdasarkan uraian di atas, dalam rangka ikut berperan serta untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), kami tertarik untuk membuat makalah mata kuliah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Dan Neonatal dengan judul “Memahami Kondisi Maternal Dan Neonatal Yang Beresiko Kegawatdaruratan”.
1.2  Perumusan Masalah
1.      Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dengan memahami kondisi maternal dan neonatal yang beresiko kegawatdaruratan.
2.      Menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dengan memahami kondisi maternal dan neonatal yang beresiko kegawatdaruratan.
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian, penilaian klinik, tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan preeklampsia.
2.      Mengetahui pengertian, penilaian klinik, tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan eklampsia.
3.      Mengetahui pengertian, penilaian klinik, tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan hipertensi dalam kehamilan.
4.      Mengetahui pengertian, penilaian klinik, tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan hipertensi kronik.
5.      Mengetahui pengertian, penilaian klinik, tanda gejala, klasifikasi, diagnosa banding, komplikasi dan pencegahan kejang.
1.4  Manfaat Penelitian
Manfaat makalah ini bagi mahasiswa:
1.      Meningkatkan pengetahuan dan teori serta praktek.
2.      Mahasiswi lebih kompeten dalam memberi asuhan kebidanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal.
3.      Memahami kondisi maternal neonatal yang beresiko kegawatdaruratan.
Manfaat makalah ini bagi umum:
1.      Mengurangi angka kematian maternal dan neonatal.
2.      Meningkatkan kesadaran diri terhadap ibu agar memeriksakan dirinya secara rutin pada waktu kehamilan agar mengetahui komplikasi pada ibu dan janin.









BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1    Preeklampsia
2.1.1   Pengertian Preeklampsia
Penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria, dan edema yang timbul karena kehamilan, umumnya terjadi pada kehamilan trimester III, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa. (Prawirohardjo, 2005)
Preeklampsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias yaitu hipertensi, proteinuria dan edema yang kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma, ibu tersebut tidak menunjukan tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi sebelumnya. (Muchtar, 1998)
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. (Mansjoer, 2001)
Pada umumnya ibu hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu disertai dengan peningkatan tekanan darah di atas normal sering diasosiasikan dengan preeclampsia. Data atau informasi awal terkait dengan tekanan darah sebelum hamil akan sangat membantu petugas kesehatan untuk membedakan hipertensi kronis (yang sudah ada sebelumnya) dengan preeklampsia. (Saifuddin, 2010)
2.1.2   Penilaian Klinik Preeklampsia
Diagnosis preeklampsia ditegakan berdasarkan adanya 2 dari 4 gejala, yaitu:
1.      Penambahan berat badan yang berlebihan : bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali.
2.      Edema : terlihat sebagai peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka.
3.      Hipertensi : tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat > 30 mmHg atau tekanan diastolik > 15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit.
4.      Proteinuria : bila terdapat protein sebanyak 0,3 g/l dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukan + 1 atau + 2, atau kadar protein ≥ 1 g/l dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi tengah, diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam.
(Mansjoer, 2001)
Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklampsia ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma.
Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat individual. Kadang-kadang sukar untuk menentukan gejala preeklampsia mana yang timbul lebih dahulu.
Secara teoritik urutan-urutan gejala yang timbul pada preeklampsia adalah edema, hipertensi dan terakhir proteinuri, sehingga gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan di atas, dapat dianggap bukan preeklampsia.
Dari semua gejala tersebut, timbulnya hipertensi dan proteinuri merupakan gejala yang paling penting. Namun sayangnya penderita seringkali tidak merasakan perubahan ini. Bila penderita sudah mengeluh adanya gangguan nyeri kepala, gangguan penglihatan, atau neri epigastrum, maka penyakit ini sudah cukup lanjut. (Saifuddin, 2010)
2.1.3   Tanda Gejala Preeklampsia
1.      Gejala preeklampsia ringan meliputi:
a.       Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau lebih; diastolik 15 mmHg atau lebih dari tekanan darah sebelum hamil pada kehamilan 20 minggu atau lebih, atau sistol 140 mmHg sampai kurang 160 mmHg; diastolik 90 mmHg sampai kurang 110 mmHg.
b.      Proteinuria : secara kualitatif lebih 0,3 gr/liter dalam 24 jam atau secara kualitatif + 2.
c.       Edema pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau tangan.
2.      Gejala preeklampsia berat meliputi:
a.       Proteinuria ≥ 2+
b.      Oliguria < 400 ml per 24 jam
c.       Edema paru: nafas pendek, sianosis, ronkhi +
d.      Nyeri daerah epigastrum atau kuadran kanan
e.       Gangguan penglihatan (penglihatan berkabut)
f.       Nyeri kepala hebat, tidak hilang dengan analgetik biasa
g.      Hiperrefleksia
h.      Mata: spasme arteriolar, edema, ablasio retina
i.        Koagulasi: koagulasi intravaskuler desseminata, sindrom HELLP
j.        Pertumbuhan janin terhambat
k.      Otak: edema serebri
l.        Jantung: gagal jantung
(Rukiyah, 2010)
Tanda gejala dari preeklampsia adalah sebagai berikut:
1.      Hiperrefleksia (iritabilitas susunan saraf pusat).
2.      Sakit kepala atau sefalgia (frontal atau oksipital) yang tidak baik dengan pengobatan umum.
3.      Gangguan penglihatan seperti pandangan kabur, skotomata, silau atau berkunang-kunang.
4.      Nyeri epigastrik.
5.      Oliguria (luaran kurang dari 500 ml/24 jam).
6.      Tekanan darah sistolik 20-30 mmHg dan diastolic 10-20 mmHg di atas normal.
7.      Proteinuria.
8.      Edema menyeluruh.
(Saifuddin, 2010)
2.1.4   Klasifikasi Preeklampsia
1.      Preeklampsia ringan
Preeklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/ atau edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. (Rukiyah, 2010)
2.      Preeklampsia berat
Preeklampsia berat adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/ atau edema pada kehamilan 20 atau lebih. (Rukiyah, 2010)
2.1.5   Diagnosa Banding Preeklampsia
1.      Kejang bisa disebabkan ensefalopati hipertensi, epilepsi, tromboemboli, intoksikasi obat, trauma, hipoglikemia, hipokalsemia, atau alkalosis.
2.      Koma bisa disebabkan epilepsi, sinkop, intoksikasi alkohol atau obat, asidosis, hipoglikemia, atau azotemia.
(Mansjoer, 2001)
Diagnosis preeklampsia ringan ditegakan berdasarkan timbulnya hipertensi disertai proteinuri dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu.
1.      Hipertensi: sistolik/diastolik ≥ 140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai kiteria preeklampsia.
2.      Proteinuria: ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1 + dipstik.
3.      Edema: edema lokal tidak dimasukan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka, perut , edema generalisata.
Diagnosis ditegakan berdasarkan kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum di bawah ini. Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut:
1.      Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
2.      Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif.
3.      Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
4.      Kenaikan kadar kretinin plasma.
5.      Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.
6.      Nyeri epigastrum atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat terenggangnya kapsula Glisson).
7.      Edema paru-paru dan sianosis.
8.      Hemolisis mikroangiopatik.
9.      Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
10.  Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler): peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.
11.  Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat.
12.  Sindrom HELLP.
(Saifuddin, 2010)
2.1.6   Komplikasi Preeklampsia
Komplikasi pada ibu:
1.      Sistem saraf pusat
Perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina, macular atau retina detachment dan kebutaan korteks.
2.      Gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, rupture kapsul hepar.
3.      Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
4.      Hematologik: DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi.
5.      Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi atau arrest, pernapasan, kardiak arrest, iskemia miokardium.
6.      Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan
Komplikasi pada janin:
Penyulit yang dapat terjadi pada janin adalah intrauterine fetal growth restriction, solusio plasenta, prematuritas, sindroma distress napas, kematian janin intrauterine, kematian neonatal perdarahan intraventrikular, necrotizing enterolitis, sepsis, cerebral palsy.
(Saifuddin, 2010)
2.1.7   Pencegahan Preeklampsia
Belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan preeklampsia. Beberapa penelitian menunjukan pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diet tinggi protein, suplemen kalsium, magnesium, dll) atau medikamentosa (teofilin, antihipertensi, diuretik, aspirin, dll) dapat mengurangi kemungkinan timbulnya preeklampsia. (Mansjoer, 2001)
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko terjadinya preeklampsia. Preeklampsia adalah suatu sindroma dari proses implantasi sehingga secara keseluruhan dapat dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan nonmedikal dan medikal:
1.      Pencegahan dengan nonmedikal
Pencegahan nonmedikal adalah pencegahan dengan tidak memberikan obat. Cara yang paling sederhana adalah melakukan tirah baring. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan pada mereka yang mempunyai resiko tinggi terjadinya preeklampsia meskipun tirah baring tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan mencegah persalinan preterm. Restriksi garam tidak terbukti dapat mencegah terjadinya preeklampsia. Hendaknya diet ditambah suplemen yang mengandung:
a.       Minyak ikan yang kaya akan asam lemak tidak jenuh, misalnya omega-3 PUFA
b.      Antioksidan: vitamin C, vitamin E, β-karoten, CoQ10, N-Asetilsistein, asam lipoik.
c.       Elemen logam berat: zinc, magnesium, kalsium.
2.      Pencegahan dengan medikal
Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat meskipun belum ada buktiyang kuat dan sahih. Pemberian diuretik tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia bahkan memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia.
Pemberian kalsium: 1.500-2.000 mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen pada resiko tinggi terjadinya preeklampsia. Selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari, magnesium 365/hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat mencegah preeclampsia adalah aspirin dosis rendah rata-rata di bawah 100 mg/hari, atau dipiridamole. Dapat juga diberikan obat-obat antioksidan, misalnya vitamin C, vitamin E, β-karoten, CoQ10, N-Asetilsistein, asam lipoik.
2.2    Eklampsia
2.2.1 Pengertian Eklampsia
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelainan neurologik) dan/ atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukan gejala-gejala preeklampsia. (Erlina, 2008)
Eklampsia adalah kelainan pada masa kehamilan, dalam persalinan, atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelainan saraf) dan/ atau dimana sebelumnya sudah menunjukan gejala-gejala preeklampsia. (Ong Tjandra & John, 2008)
Eklampsia adalah penyakit akut dengan kejang dan koma pada wanita hamil dan wanita dalam masa nifas disertai dengan hipertensi, odema, dan proteinuria. (Sulaeman, 1984)
Eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “halilintar”. Kata tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. (Hanifa dalam Prawirohardjo, 2005)
Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai kejang dan/ atau koma yang timbul bukan akibat kelainan neurologi. (Mansjoer, 2001)
2.2.2        Penilaian Klinik Eklampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.
Pada penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia. (Sarwono, 2010)
2.2.3        Tanda Gejala Eklampsia
Gejala eklampsia meliputi :
1.      Tanda-tanda preeklampsia berat
2.      Kejang-kejang dan/ atau koma
Kejang dapat terjadi tidak tergantung dari beratnya hipertensi, bersifat tonik-klonik (menyerupai kejang pada epilepsi), koma terjadi setelah kejang, dapat berlangsung lama (berjam-jam)
3.      Kadang-kadang disertai gangguan fungsi organ.
2.2.4        Klasifikasi Eklampsia
Berdasarkan waktu terjadinya, eklampsia dapat dibagi menjadi:
1.      Eklampsia gravidarum
a.       Kejadian 50% - 60 %
b.      Serangan terjadi dalam keadaan hamil
2.      Eklampsia parturientum
a.       Kejadian sekitar 30 % - 35 %
b.      Batas dengan eklampsia gravidarum sukar ditentukan terutama saat mulai inpartu
3.      Eklampsia puerpurium
a.       Kejadian jarang yaitu 10 %
b.      Terjadi serangan kejang atau koma setelah persalinan berakhir
2.2.5   Diagnosa Banding Eklampsia
Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit lain. Oleh karena itu, diagnosis banding eklampsia menjadi sangat penting, misalnya perdarahan otak, hipertensi, lesi otak, kelainan metabolik, meningitis, epilepsi iatrogenic. Eklampsia selalu didahului oleh preeklampsia. Perawatan prenatal untuk kehamilan dengan predisposisi preeklampsia perlu ketat dilakukan agar dapat dikenal sedini mungkin gejala-gejala prodoma eklampsia. Sering dijumpai perempuan hamil yang tampak sehat mendadak menjadi kejang-kejang eklampsia, karen tidak terdeteksi adanya preeklampsia sebelumnya.
Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang tonik ialah dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otot-otot muka khususnya sekitar mulut, yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi otot-otot tubuh yang menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan menggenggam, kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh pada saat ini dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15-30 detik.
Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik ini dimulainya dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan kontraksi intermiten pada otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Begitu kuat kontraksi otot-otot tubuh ini sehingga seringkali penderita terlempar dari tempat tidur. Seringkali pula lidah tergigit akibat kontraksi otot rahang yang terbuka dan tertutup degan kuat. Dari mulut keluar liur berbusa yang kadang-kadang disertai bercak-bercak darah. Wajah tampak membengkak karena kongesti dan pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan.
Lama kejang klonik ini kurang lebih kemudian berangsur-angsur kontraksi melemah dan akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam koma. Pada waktu timbul kejang, tekanan darah dengan cepat meningkat. Demikian juga suhu badan meningkat, yang munkin oleh karena gangguan serebral. Penderita mengalami inkontinensia disertai dengan oliguria atau anuria dan kadang-kadang terjadi aspirasi bahan muntah. (Sarwono, 2010)
2.2.6   Komplikasi Eklampsia
1.      Iskemia uteroplasenta
Pertumbuhan janin terhambat, kematian janin, persalinan premature, solusio plasenta.
2.      Spasme arteriolar
Perdarahan serebral, gagal jantung ginjal dan hati, ablasio retina, tromboembolisme, gangguan pembekuan darah.
3.      Kejang dan koma
Trauma karena kejang, aspirasi cairan, darah, muntahan, dengan akibat gangguan pernapasan.
4.      Penanganan tidak tepat
Pneumonia, infeksi saluran kemih, kelebihan cairan, komplikasi anestesi atau tindakan obstetrik.
2.2.7   Pencegahan Eklampsia
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau frekuensinya dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:
1.      Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksa diri sejak hamil muda
2.      Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda preeklampsia dan mengobatinya segera apabila ditemukan
3.      Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila dirawat tanda-tanda preeclampsia tidak juga dapat hilang
(Hanifa dalam Prawirohardjo, 2005)
Penanganan eklampsia pada kehamilan:
1.      Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihiperti, sampai tekanan diastolik diantara 90-100 mmHg.
2.      Pasang infuse Ringer Laktat dengan jarum besar (16 gauge atau >)
3.      Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload
4.      Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria
5.      Jika jumlah urin < 30 ml per jam:
a.       Infuse cairan dipertahankan 1 liter/ 8 jam
b.      Pantau kemungkinan edema paru
6.      Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang serta aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
7.      Observasi tanda-tanda vita, refleks, denyut jantung janin setiap jam.
8.      Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru
Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika ada edema paru, stop pemberian cairan, dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg IV.
Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedsise. Jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.
Penanganan eklampsia pada kehamilan persalinan:
1.      Pada eklampsia persalinan harus terjadi dalam 12 jam sejak gejala eklampsia timbul.
2.      Jika terdapat gawat janin, atau persalinan tidak dapat terjadi dalam 12 jam (pada eklampsia), lakukan seksio sesarea.
3.      Jika seksio sesarea akan dilakukan, maka perhatikan bahwa:
a.       Tidak terdapat koagulopati
b.      Anestesia yang aman/ terpilih adalah anestesi umum. Jangan lakukan anestesi lokal, sedang anestesi spinal berhubungan dengan resiko hipotensi.
4.      Jika anesthesia yang umum tidak tersedia, atau janin mati, aterm terlalu kecil, lakukan persalinan pervaginam.
a.       Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 2-5 IU dalam 500 ml dekstrose 10 tetes/ menit atau dengan prostaglandin.
Penanganan eklampsia pada postpartum :
1.      Anti konvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau kejang terakhir.
2.      Teruskan terapi antihipertensi jika tekanan diastolik masih > 110 mmHg.
3.      Pantau urin.
(Saifuddin, 2009)
2.3      Hipertensi Karena Kehamilan
2.3.1   Pengertian Hipertensi Karena Kehamilan
Tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg yang disebabkan karena kehamilan itu sendiri, memiliki potensi yang menyebabkan gangguan serius pada kehamilan. (Rukiyah, 2010)
2.3.2   Penilaian Klinik Hipertensi Karena Kehamilan
Penilaian klinik untuk hipertensi karena kehamilan antara lain:
1.      Tekanan darah diastolik < 100 mmHg
2.      Proteinuria sampai + 1
3.      Peningkatan enzim hati minimal
Gejala yang biasanya muncul pada ibu yang mengalami hipertensi yang pada kehamilan yang harus diwaspadai jikan ibu mengeluh : nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual, muntah akibat peningkatan tekanan intrakranium, penglihatan kabur, ayunan langkah yang tidak mantap, nokturia, idema dependen dan pembengkakan. (Rukiyah, 2010)
2.3.3   Tanda Gejala Hipertensi Karena Kehamilan
1.      Tekanan sistolik di atas 200 mmHg
2.      Terjadi pembesaran jantung
3.      Bukan kehamilan pertama
4.      Riwayat kehamilan yang sulit tidak ada proteinuria
5.      Tidak terjadi pembengkakan
6.      Terdapat perdarahan retina
2.3.4   Klasifikasi Hipertensi Karena Kehamilan
Kehamilan yang menyebabkan hipertensi atau hipertensi yang timbul sebagian akibat kehamilan dan akan menghilang pada masa nifas seperti : hipertensi pada proteinuria atau edema, preeklampsia dengan atau tanpa proteinuria dan odema, yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat, eklampsia, hipertensi kronis, kehamilan yang memperburuk hipertensi, hipertensi sementara (transient hypertension). (Rukiyah, 2010)
2.3.5   Diagnosa Banding Hipertensi Karena Kehamilan
1.      Hipertensi kronik kehamilan
Timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
2.      Kehamilan dengan sindrom nefrotik
Biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap atau urin yang kental akibat proteinuria berat, edema pada kaki dan genitalia.
3.      Kehamilan dengan payah jantung (dekompensasi kordis)
Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi.
2.3.6   Komplikasi Hipertensi Karena Kehamilan
1.      Jika pertumbuhan janin terhambat, lakukan terminasi kehamilan
2.      Jika terjadi penurunan kesadaran atau koma, kemungkinan terjadi perdarahan serebral:
a.       Turunkan tekanan daraah pelan-pelan
b.      Berikan terapi suportif
3.      Jika terjadi gagal jantung, ginjal, atau hati, berikan terapi suportif
4.      Jika uji beku darah menunjukan gangguan tekanan darah, kemungkinan terdapat koagulopati
5.      Jika pasien mendapat infuse dan dipasang kateter, perhatikan upaya pencegahan infeksi
6.      Jika pasien mendapat cairan per infus, perlu dipantau  jumlah cairan masuk dan keluar agar tidak terjadi overload cairan.
2.3.7   Pencegahan Hipertensi Karena Kehamilan
Pencegahan kejadian hipertensi secara umum agar menghindari tekanan darah tinggi adalah dengan mengubah ke arah gaya hidup sehat, tidak terlalu banyak pikiran, mengatur diet atau pola makan seperti rendah garam, rendah kolesterol dan lemak jenuh, meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, tidak mengkonsumsi alkohol dan rokok, perbanyak makan mentimun, belimbing dan juga jus apel dan seledri setiap pagi bagi yang mempunyai keluarga riwayat penyumbatan arteri dapat meminum jus yang dicampur dengan susu nonfat dengan mengandung omega 3 tinggi. (Rukiyah, 2010)
Tangani secara rawat jalan:
1.      Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria) dan kondisi janin setiap minggu
2.      Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklampsia ringan
3.      Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin terhambat, rawat untuk penilaian kesehatan janin
4.      Beri tahu pasien dan keluarga tanda bahaya dan gejala preeklampsia dan eklampsia.
5.      Jika tekanan darah stabil, janin dapat dilahirkan secara normal
(Saifuddin, 2002)



2.4      Hipertensi Kronik
2.4.1   Pengertian Hipertensi Kronik
Hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan. (Saifuddin, 2010)
2.4.2   Penilaian Klinik Hipertensi Kronik
Peninggian tekanan darah kadang- kadang merupakan satu-satunya gejala, bila demikian gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau jantung dan gejala lain di temukan seperti sakit kepala marah dan telinga mendengung.
2.4.3   Tanda Gejala Hipertensi Kronik
1.      Ensefalopati hipertensif
2.      Hemiplegi
3.      Gangguan penglihatan dan pendengaran
4.      Parases dan facialis
5.      Penurunan kesadaran
Gejala- gejala yang berkaitan dengan hipertensi kronik adalah perubahan aktifitas, kebiasaan merokok, riwayat obat- obatan bebas, sukar tidur, mata berkunang-kunang dan pusing.
2.4.4   Klasifikasi Hipertensi Kronik
Menurut WHO/ ISH:
Klasifikasi
Sistolik(mmhg)
Diastolik(mmhg)
Normotensi
<140
<90
Hipertensi ringan
140 - 180
90-105
Hipertensi perbatasaan
140-160
90-95
Hipertensi sedang dan berat
>180
>105
Hipertensi sistolik terisolasi
>140
<90
Hipertensi sistolik perbatasan
140- 160
<90

2.4.5   Diagnosa Banding Hipertensi Kronik
Diagnosa hipertensi tidak bisa ditegakan dalam satu kali pertukaran hanya dapat diterapkan setelah kedua kalinya atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala- gejala klinik. Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam keadaan posisi duduk bersandar setelah beristirahat selama 5 menit dengan ukuran pembukus lengan yang sesuai.
2.4.6   Komplikasi Hipertensi Kronik
Pada wanita hamil yang mengalami hipertensi kronik terjadi peningkatan angka kejadian stroke. Selain itu komplikasi lain yang sangat mengkhawatirkan yaitu terjadi superimposed preeclampsia dimana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi hepar, gagal ginjal, serta tendensi timbulnya perdarahan yang meningkat dan perburukan ke arah eklampsia.
Pada janin sendiri dapat terjadi bermacam-macam gangguan sampai kematian janin dimana efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita hamil akan merusak sistem vaskularisasi darah, sehingga mengganggu pertukaran oksigen dan nutrisi melalui plasenta dari ibu ke janin. Hal ini bisa menyebabkan prematuritas plasenta dengan akibat pertumbuhan janin yang lambat dalam rahim, bahkan kematian janin.
2.4.7   Pencegahan Hipertensi Kronik
Pencegahan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam dan disukai dalam dosis tunggal karena kepatuhan lebih baik, dapat mengkontrol hipertensi terus-menerus dan lancar dan melindungi pasien dalam berbagai resiko dan kematian mendadak serangan jantung, atau syok akibat peningkatan tekanan darah.
Penanganan umum:
1.      Istirahat cukup
2.      Mengatur diet yaitu meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung protein dan mengurangi makanan yang mengandung karbohidrat serta lemak
3.      Jika keadaan memburuk namun kemungkinan dokter akan mempertimbangkan untuk segera melahirkan bayi demi keselamatan ibu dan bayi.












BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria akibat kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang atau koma. Hipertensi karena kehamilan adalah tekanan darah yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg yang disebabkan karena kehamilan itu sendiri, memiliki potensi yang menyebabkan gangguan serius pada kehamilan. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.
3.2  Saran
1.      Untuk klien diharapkan untuk melakukan pemeriksaan Antenatal Care hingga pemeriksaan Postpartum yang teratur sehingga resiko preeklampsia, eklampsia, hipertensi karena kehamilan, dan hipertensi kronik dapat ditangani sedini mungkin.
2.      Untuk bidan:
a.       Sebagai tenaga kesehatan, bidan harus memberikan penyuluhan kepada masyarakat khususnya kelompok wanita usia subur dan memberikan pengertian tentang resiko yang akan timbul serta komplikasi preeklampsia, eklampsia, hipertensi karena kehamilan, dan hipertensi kronik pada ibu hamil, melahirkan, dan setelah melahirkan.
b.      Agar dapat menegakan diagnosa secara dini tentang penyakit preeklampsia, eklampsia, hipertensi karena kehamilan, dan hipertensi kronik pada ibu hamil, melahirkan, dan setelah melahirkan dan memberikan penanganan yang sesuai sehingga tidak terjadi komplikasi yang serius terhadap ibu dan janin.
3.      Untuk institusi dapat meningkatkan metode pembelajaran sehingga alumni lebih kompeten dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk membantu menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) berkenaan dengan masalah preeklampsia, eklampsia, hipertensi karena kehamilan, dan hipertensi kronik.












                     DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Rukiyah, Ai Yeyeh, dkk. 2014. Asuhan Kebidanan 4 Patologi Kebidanan. Jakarta: TIM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar